Rabu, 21 Mei 2014
Masih melekat dalam ingatan, kisah cantiknya
Gunung Papandayan Garut dalam pendakianku tahun lalu. Bersama tujuh orang
lainnya aku mendaki
di gunung yang tingginya hanya 2622 Mdpl. Sebenarnya belum seberapa dibanding dengan Gunung Mahameru yang mencapai 3676 Mdpl. Ahh, bukan soal tingginya. Di sana berjuta kisah tak sempat aku tuliskan, alpa dalam daftar cerita buku usang diaryku. Tapi tidak bisa dipungkiri, pesona Papandayan membuat siapa saja tidak akan melupakan kisahnya.
di gunung yang tingginya hanya 2622 Mdpl. Sebenarnya belum seberapa dibanding dengan Gunung Mahameru yang mencapai 3676 Mdpl. Ahh, bukan soal tingginya. Di sana berjuta kisah tak sempat aku tuliskan, alpa dalam daftar cerita buku usang diaryku. Tapi tidak bisa dipungkiri, pesona Papandayan membuat siapa saja tidak akan melupakan kisahnya.
Jumat, 27 September 2013
Entah mengapa aku sangat menyukai bulan
September, mungkin karena bulan ini adalah bulan kelahiranku. Ingin sekali
kutorehkan kisah-kisah pada bulan sembilan ini. Tepat pada hari ini tanggal dua
puluh tujuh. Aku dan beberapa teman dari sebuah komunitas kepenulisan sebut
saja Forum Lingkar Pena Bogor, akan melakukan pendakian ke Gunung Papandayan
Garut. Kurang lebih delapan orang, aku, Aziz (adikku), Mbak Hana, Mbak Retno,
Mbak Ira, Mbak Siska, Fathy dan Ugi.
Kami berangkat dari sebuah terminal Baranang
Siang Bogor. Tepat pukul lima sore kami berkumpul di terminal itu, dengan
berbagai barang bawaan masing-masing dari kami membawa tas besar yang biasa
disebut carrier. Rasanya tidak sabar
ingin berangkat. Kami menuju terminal Rambutan Jakarta, dengan menaiki sebuah
bus dengan tarif masing-masing delapan ribu rupiah. Banyak kisah yang berbeda
dari keberangkatan kami, aku misalnya. Aku berangkat dari kantorku bekerja,
saat itu aku hanya ijin pulang lebih awal setengah jam. Namun sulit sekali
mendapat ijin dari atasan. Padahal aku sudah mengajukan cuti sebelumnya,
setengah hari di hari Jumat dan libur di hari Sabtu. Hmmm, sempat kesal juga. Tapi Allah memang berkehendak indah
untukku. Aku ditakdirkan ikut dengan rombongan.
Sabtu, 28 September 2013
Pukul dua dini hari kami tiba di terminal
Garut. Saat kaki kiri kuinjakkan turun dari bus, kedua pipiku seolah ditampar
malam di Garut. Tulang belulangku entah berserak ke mana, tak ada rasa. Gemertak
gigi sudah kudengar juga dari salah satu temanku. Ternyata mereka merasakan hal
yang sama, buru-buru kurapatkan jaket. Mencari sarung tangan dan syal, Ya Rabb aku lupa menyimpannya di mana. Lima belas menit aku
mencarinya, selama itu pula aku menahan dingin. Aromanya menyeruak hingga beberapa
dari kami tidak bisa menahan ingin buang air kecil. Ya, itu akibat udara yang dingin.
Perjalanan belum selesai, kami harus
melanjutkan dua kali tumpangan lagi. Dari terminal besar itu kami menyewa
sebuah mobil semacam angkot. Masing-masing dari kami dimintai uang sepuluh ribu
rupiah untuk sampai di kaki gunung Papandayan Garut. Ternyata semakin dekat
semakin meningkat dinginnya. Setelah setengah jam kami sampai di kaki gunung,
gerbang menuju pos pendakian. Kami harus menaiki sebuah mobil carry terbuka menuju ke sana. Sekitar
setengah jam kami sampai di pos pendakian. Pikiranku hanya satu saat itu, nanti shalat Subuhnya gimana? Air wudhunya
pasti semacam es!
Setelah melaksanakan shalat Subuh kami
berkemas-kemas dan melakukan olahraga ringan untuk pemanasan agar pendakian
berjalan dengan lancar. Saat itu olahraga dipimpin oleh mbak Retno.
“Olahraganya
runut ya, biar nanti nggak keram di atas,”
kata mbak Retno.
Tepat pukul enam lewat tiga puluh menit kami
memulai pendakian. Melewati jalur kawah, bebatuan yang terjal pun harus kami
lalui pada awal pendakian ini. Rintangan kami selanjutnya yaitu melewati jalan
yang terputus akibat tanah longsor. Dengan menyusuri ke jalur jurang dan
rimbunan pohon yang tinggi, kami melewati aliran sungai dan bebatuan yang
licin. Di perjalanan kami selalu memainkan kamera yang kami bawa. Tidak rela
jika keindahannya terlewati begitu saja. Pesonanya mampu mengobati rasa penat
beberapa hari ini. Tugas kuliah yang ngantri dan deadline kerjaan di kantor
yang numpuk. Semua itu sementara aku lupakan. Sebuah kekuasaan Allah yang harus
aku syukuri. Entah sudah berapa capture dalam kamera yang kubawa ini, dari awal
perjalanan hingga sekarang yang kulakukan hanya memotret. Seru! Pesonanya mampu
membius siapa saja yang melewatinya. Satu persatu tangan kami saling menyambut,
menyebrangi sungai. Aliran airnya yang sangat deras dan bebatuan yang licin.
Namun jernihnya bak cermin nan indah.
Sudah sembilan puluh menit kami berjalan,
namun belum terlihat bahwa tempat kami untuk berkemah sudah dekat. Mungkin
beberapa menit lagi, pikirku. Dinginnya sudah mulai berkurang, karena saat itu
mentari menemani kami di perjalanan.
“Nanti di
tempat kemah ada toilet umum nggak ya?”
kata mbak Siska sedikit menghibur hati.
“Nanti di
sana ada Alfamart nggak ya?”
sambung mbak Ira menambahkan.
Hah, mana ada toilet umum dan alfamart di gunung. Mereka
mencoba menghibur hati kami yang sudah mulai kelelahan. Namun rasa lelah itu
terbayar lunas oleh alam yang suguhkan keindahannya. Pukul sembilan pagi kami
tiba di Pondok Salada. Ditempat inilah kami mendirikan tenda dan mengisi perut
yang mulai keroncongan. Keistimewaan dari Gunung Papandayan ini adanya Hutan
mati akibat erupsi yang pernah terjadi beberapa tahun lalu. Penampakan dari hutan
mati tidak diragukan lagi uniknya. Pohon-pohon bekas terbakar dengan warna hitam
angus terhampar luas. Ditanah ini aroma belerang tercium, semuanya membuat
tempat menjadi sangat misterius dan mistis.
Rabu, 21 Mei 2014
Sungguh, jika kuceritakan ulang membuat hati
ingin menginjakkan kaki kembali ke sana. Banyak kisah yang benar-benar tidak
bisa kulupakan. Nilai sosial yang sempat kami bawa pulang, nilai kepedulian
hingga nilai sebuah persahabatan. Papandayan mengajarkan arti sebuah realita
kehidupan. Mendaki dan mendaki terjalnya kehidupan, namun harus disadari bahwa
sulitnya pendakian terbayar oleh indah dan harumnya Papandayan. Begitu pun
dengan kehidupan ini, sulitnya akan terbayar dengan nikmat yang Allah tlah
berikan kepada kita. Indah, terhampar luas di bumi-Nya.
Fathy, Mbak Ira, Mbak Siska, Ella, Mbak Hana, Mbak Retno, Ugi - Hutan Mati |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar