Minggu, 21 Februari 2016

Pahlawan itu bernama ODOJ (Part 1)

pahlawan itu bernama ODOJ, one day one juz, tilawah sehari satu juz, komunitas one day one juz, komunitas ODOJ, Alquran, cerita Alquran, http://kataella.blogspot.com
Sumber: google image



Oktober 2013

“Sibuk. Sibuk. Sibuk terus! Nanti disibukin sama Allah.”

Kalimat itu selalu terngiang di telingaku. Enggan aku mengingatnya, namun setiap berjumpa dengan kata SIBUK aku tertumpu pada kalimat ajaib itu. Mengapa kukatakan ajaib?  Karena kini aku merasakan ajaibnya. Ya, saat ini aku sedang berbaring lemah tak berdaya. Karena aktivitasku yang padat, kadang-kadang aku lupa dengan detak jam dinding di rumahku.

Beruntungnya ia tidak mendendam, buktinya detak itu kini menjadi teman setiaku. Ia menemani kesendirianku. Ia memahami nyeri di perutku. Sudah empat hari aku tidak melakukan apa-apa. Sebuah penyakit yang mengaku bernama Maag mampir dalam tubuhku. Ulu hatiku sakit karenanya. Pedih. Nyeri. Dan setiap kali kupaksakan untuk mengisi perutku, semuanya tertolak. Keluar lagi.

“Anak saya pola makannya buruk, Dok,” kata ibuku pada seorang dokter di depannya. Dokter Solihin, begitu ia dipanggil.

Aku menaksir usia dokter Solihin sekitar empat puluhan awal. Wajahnya tirus, agak sedikit gelap namun bersih, berhidung mancung dan beralis tebal. Sore itu ia mengenakan pakaian kebesaran seorang dokter, berwarna putih-putih, lengkap dengan sebuah steteskop melingkar indah di lehernya. Melihat penampilannya yang elegan, aku bisa memastikan bahwa ia adalah orang yang begitu memperhatikan penampilan. Wajar, ia dokter! Tidak sampai disitu, ia juga pasti begitu menjaga makanannya, buktinya, tubuhnya proporsional. Tidak seperti kebanyakan bapak-bapak yang berperut buncit tak karuan.

Sambil menuliskan resep di secarik kertas kecil, ia berujar “Anak sekarang emang gitu bu. Belagu, merasa dirinya hebat. Jadi makannya asal ketemu di jalan aja,” dokter Solihin memang blak-blakan. Dokter yang buka praktek tidak jauh dari rumahku itu sudah akrab dengan keluargaku. Maka tak heran jika cacian hangat itu meluncur dari bibirnya yang tebal. Di matanya, aku selalu anak nakal. Huh!

Penyesalan selalu datang terlambat! Ya iyalah, kalau datang di awal namanya pendaftaran! Jika sudah begini, ingin rasanya kembali ke masa lalu. Memperbaiki semua kesalahan yang sudah kubuat. Sayangnya, tentu saja itu mustahil.

Kini, aku hanya bisa memanen buah kecerobohanku. Terbaring lemah berhari-hari, ibadah harian berantakan, pekerjaan terbengkalai, tugas-tugas kuliah menanti di eksekusi, dan waktu minggat begitu saja.

Ya Rabb, sembuhkanlah sakitku.

Ponselku berbunyi, ponsel merk cina itu sudah beberapa puluh jam tidak aku sapa, teronggok merana di sana, di meja kamar. Ahh, kasihan sekali ia. Aku mengambil ponselku, membuka kuncinya, dan membaca beberapa pesan singkat yang masuk.

Hah, ada pesan dari Nur! Teman dunia mayaku yang sudah belasan hari ini tidak menyapa di chat facebook.

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh kakak Ell.. Dirimu sehatkah? Eh iya, punten mau tanya kakak Ell sudah gabung di ODOJ belum ya? Afwan sebelumnya. Kangen ingin bertemu kakak Ell.
+6285920xxxxxx
Nur

Aku mengerutkan kening, berpikir keras. “Gabung di ODOJ? Apaan tuh ODOJ? Sepertinya kata ini adalah nama sebuah komunitas. Tapi aku belum pernah mendengar sebelumnya. Hmmm, mau nanya tapi gengsi. Ketinggalan jaman banget,” pikirku.

Pesan singkatnya tidak langsung kubalas. Alasannya, aku masih bingung dengan kata ODOJ. Aku harus mencari tahu sendiri. Browsing. Ya, hanya dengan browsing semoga saja aku bisa menemukan jawabannya pada mbah yang katanya sakti itu, mbah gugel.

Ponselku langsung berselancar pada sebuah alamat web yang aku ketikan. Namun naas, ponsel ini membuat darahku mendidih. Menyebalkan! Koneksinya lelet. Membuat kepalaku pusing, dan perutku mual. Ahh baru ingat, aku belum minum obat. Pantas saja. Sementara, aku biarkan kata itu, ODOJ, terbenam dalam ingatanku.

###

“Coba kalau kemarin aku nggak sakit, aku pasti bisa ikut pelatihan di Bandung itu,” ujarku sebal sambil bersungut-sungut pada Tina. Ia adalah sahabatku, teman sekantor yang menyenangkan.

“Nggak apa-apa, semuanya sudah Allah atur. Semoga dengan sakitnya kamu bisa menghapus dosamu,” Tina mengingatkan sambil menepuk pundakku hangat.

Kami lalu diam beberapa menit. Tenggelam pada pekerjaan masing-masing yang sudah menunggu untuk diselesaikan.

Tiba-tiba, setelah ingat akan sesuatu, Tina berujar “Eh iya La, kalau di pengajianmu ada target tiawahnya nggak?”

“Ada” kataku, “Tapi ya gitu, aku belum bisa konsisten..” lanjutku nyengir.  
“Berapa halaman emang?”
“Empat halaman doang sih.” Jawabku singkat.
“Oh, cuma empat halaman” bibir Tina membulat, “Berarti kamu belum ikut ODOJ dong?”

Ah, kata itu lagi. Sepertinya komunitas ini berhubungan dengan tilawah. Buktinya barusan Tina bertanya soal tilawah dan nyambungnya ke ODOJ.

Aha! Baru ingat, bulan April lalu aku pernah melihat poster yang dipasang di depan jalan utama komplek dekat kantorku ini. One Day One Ayat. Ya, sepertinya itu. Eh tapi sebentar, itu bukan ODOJ dong, itu ODOA. Lama aku tertegun, belum menemui juga sang jawaban itu. Nyerah sajalah.

Sambil membenarkan kaca mata minusku, aku menyahut asal, “Iya belum gabung, oh yang kemarin launching di Glora Bung Karno itu ya?”

“Launching? Hmm kurang tahu juga, sih, Say.. Yang pasti ODOJ itu tilawahnya sehari satu juz.”

“Hah sehari satu Juz?”
“Iya.”

Empat halaman saja aku masih jarang, apalagi untuk satu hari satu Juz. Sepertinya itu hal yang mustahil. Aku baru sadar, ODOJ; J nya itu adalah Juz. Berarti One Day One Juz. Aku menganggukan kepalaku.

“Iya, deh. Ntar-ntar aja aku gabung.”

Lama aku melupakan lagi komunitas tilawah itu. Pekerjaanku sebagai admin marketing di kantor lembaga sosial ini memang cukup padat. Pergi pagi pulang malam. Belum lagi jika ada liputan ke luar kota, cukup menyita waktu dan tenaga. Jika aku gabung di komunitas tilawah itu belum tentu aku bisa menyelesaikan misinya. Ahh nanti saja, jika sudah cukup waktunya.

Lagi-lagi penyakit yang pernah singgah muncul kembali, Maag. Penyakit itu sepertinya tidak mau berpisah denganku. Padahal kehadirannya tidak pernah aku harapkan.

“Tingkatkan lagi ibadahnya, jangan dunia saja yang dicari,” ibuku melayangkan kalimat ajaibnya.

“Tilawahnya bagaimana La?” Sebuah pertanyaan melayang dari guru ngajiku.

“Pekan ini empat halaman seharinya belum tercapai bu. Padat banget kerjaan di kantor” jawabku ringan, tanpa merasa bersalah.

“Allah tidak suka diduakan, ngakunya cinta sama Allah tapi nggak tilawah. Tilawah itu cara kita membaca mesra surat cinta-Nya. Dunia ini milikNya, mau seterusnya sibuk dengan dunia?”

Jleb! Dalem banget!

4 komentar: