Rintik-rintik
terdengar syahdu langit yang bersedih. Bersamaan dengan air mataku menitik.
Kubiarkan titik-titik itu jatuh membasahi pipi. Jam dinding di ruang depan
berdentang menandakan tepat pukul tiga pagi. Aku bangkit dari sujudku. Seusai melaksanakan
pengaduanku kepada Sang Pemilik Hati, lalu kubiarkan ketenangan dan kedamaian
meresap kedalam kalbu. Aku hanya berani mengandalkan sisa-sisa harapan yang
mungkin ada di dalam diriku. Sebab air mata penyesalan itu sepertinya
sudah kering di sumur hati ini. Penyesalan yang teramat sakit bila semuanya ku
ingat. Bagaimana tidak, perjuanganku selama tiga tahun di SMA gugur oleh UN
yang hanya tiga hari. Aku masih sulit untuk merelakan kenyataan ini, karena
hampir setiap semester aku mendapatkan predikat Juara Umum. Tapi perlahan aku
harus ikhlas, Allah pasti punya rencana lain untukku. Kesuksesan dan
kebahagiaanku bukan hanya di kelulusan UN saja. Aku harus menanamkan dalam diri
ini bahwa Allah sudah menulis skenaro yang lebih indah untukku. Ya Allah.. pasti ibu kecewa melihat aku
gagal. Maafkan aku bu, aku tidak bisa membuatmu bahagia. Aku selalu berdoa untukmu dan berusaha agar ibu
di dekat Allah tenang. Aku tidak akan menangis. Karena aku tahu ibu tidak suka
melihat titikan air mataku.
Semenjak ibu
tidak ada, aku tinggal bersama ayah yang sudah menikah lagi dengan wanita
pilihannya. Aku sering tidak nyaman dengan keberadaan ibu baruku itu. Aku tahu
mereka kecewa melihat anaknya tidak lulus UN. Namun yang membuat aku tidak suka
mereka sering mengecapku bodoh, tidak tahu di untung atau apalah. Peristiwa
ketidaklulusan ini membuat semuanya berubah. Aku tidak tinggal diam, akan aku
buktikan bahwa aku tidak sebodoh yang mereka kira. Masih ada kesempatan yang
bisa merubah keadaanku. Ujuan her akan segera di laksanakan, jika memang ujian
her itu gagal juga, terpakasa aku harus meraih ijazah paket C.
Satu hal yang
membuat aku menyesal adalah, seharusnya aku sudah mengikuti tes seleksi
beasiswa full kuliah kedokteran di Jogja tahap kedua, tapi karena aku menerima
surat tidak lulus, maka aku harus ikut
ujian her dan tidak mengikuti tes tahap kedua itu. Raib semua impian untuk bisa
kuliah kedokteran dan bisa menjadi seorang dokter. Jangankan memikirkan bisa
kuliah di Fakultas Kedokteran itu, memikirkan kelulusan pada ujian her saja aku
sudah cemas.
Alhamdulillah.
Akhirnya aku mampu menyelesaikan semua soal-soal ujian her tanpa kesultan
apapun. Setelah semuanya kuserahkan pada-Nya. Aku sudah berusaha dan aku
memohon pada-Nya. Hasilnya pun memuaskan, aku lulus dengan menempuh ujian her. Ada
hal luar biasa lain yang aku dapatkan dari ketidaklulusan ini. Mungkin benar
bahwa aku memang tidak lulus UN dan menempuh kelulusanku dengan ujan her, tapi
aku yakin ujian dari-Nya aku sudah lulus. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil
atas ketidaklulusanku di UN.
****
Sekarang
waktunya untuk berpikir keras bagaimana merajut kembali impian yang sempat
pupus. Di tengah hiruk pikuknya pikiranku yang melayang-layang, aku dikejutkan
oleh kabar yang membuat mataku terbuka lebar. Cerpenku lolos dalam sayembara pelajar Indonesia tingkat Nasional. Subhanallah.. Aku baru
ingat, sebulan yang lalu aku pernah mengirimkan salah satu cerpenku ke event sayembara itu, dan hasilnya aku
mendapatkan predikat Juara II dan nominasi Juara favorite pembaca. Hadiahnya
adalah uang tunai 7 Jt dan beasiswa sekolah menulis di Jakarta. Sungguh
bangganya diriku, di tengah kegagalanku ternyata masih ada seberkas cahaya yang
bisa memotivasiku untuk lebih giat lagi merangkai mimpi ke depan.
Ibu tiri dan
ayahku tidak merespon keberhasilaku ini, mereka hanya mengernyitkan dahinya dan
terkadang terlontar kata-kata yang tidak enak didengar. Tapi aku sudah tidak
memperdulikan itu.
“Sukur deh bisa
juara cerpen. Tekunin ajah itu cerpen sampai kamu jadi pengarang hebat.
Paling-paling tak jadi penulis hebatpun kau jadi penghayal ulung. Mengayal di
tulisanmu. Yang ada jadi gila!” kata ibu tiriku melontarkan cemoohannya.
“Terima kasih
bu, doakan saja aku. Aku akan menekuni dunia menulis” jawabku menahan perih
sambil pergi meninggalkan ibu yang saat itu sedang merapihkan koran di ruang
tamu.
Hadiah uang itu
aku pergunakan untuk daftar kuliah, walaupun swasta tapi aku menyimpan harapan
yang sangat besar. Karena universitas ini potensinya akan sangat mendukung
sekali untuk kemajuan hobi menulisku. Disana banyak komunitas-komunitas
menulis. Dan atmosfer menulisnya sangat tinggi, aku yakin disinilah
keberhasilan akan kuraih. Walau tak banyak yang mendukungku. Tapi aku bersyukur
ada Dina yang senantiasa menemani aku.
“Akhirnya kamu
masuk universitas ini juga, ada hikmahya ya kamu ujian her. Jadi sahabatku yang
kutu buku ini bisa satu kampus denganku” sahut Dina kepadaku.
“Tapi impianku
jadi dokter hancur Din”
“Dokter bukan berarti
hanya dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit yang berpenyakitan atau
menolong nyawa manusia saja Mit, menurutku kamu sudah menjadi dokter yang sejati.
Mampu mengobati hatiku yang sedang galau, mampu memberikan obat penawar semacam
bantuan-bantuan pemikiran kamu Mit. Aku yakin seorang Miftahul Jannah bisa
lebih sukses dari sekedar seorang dokter biasa” jelas Dina menyemangatiku.
“Ahh, lebay kamu Din. Tapi memang itu tujuan
aku menekuni dunia menulis, karena selain aku ingin menjadi dokter medis juga
menjadi dokter kehidupan. Orang lain senang membaca karyaku dan mereka
terinspirasi dari tulisanku itu saja aku sudah bahagia. Sebuah kesenangan
tersendiri meliputi hati seorang penulis”
Ternyata benar,
tidak harus menunggu kuliah kedokteran yang jelas-jelas sudah tidak bisa
kuraih, dengan giat berlatih menulis saja aku sudah cukup menjadi dokter.
Belakangan ini banyak naskahku yang lolos pada event-event menulis, sehingga namaku sudah cukup baik di dunia
menuis. Bahkan untuk membayar semesterpun aku tidak harus bersusah payah
mengemis kepada ayahku yang sudah jelas ibu tiriku tidak suka denganku. Sudah
ada rubrik tetap di salah satu surat kabar di Bogor yang memberikan honor yang
cukup untuk membayar uang semesterku itu.
****
“Jika waktu itu
kamu lulus tanpa harus her, mungkin sekarang kamu sudah kuliah di Jogja Mit.
Punya otak tuh di asah biar cerdas” makian ibu tiriku hampir saja menjatuhkan
air mataku.
“Memang apa
bedanya, toh jika Mita jadi kuliah kedokteran di Jogja pun ibu tak akan
memberiku biaya kuliah” kataku memberanikan diri untuk menjawab.
“Mita, sudah ibu
katakan, jika otakmu pintar kamu bisa meraih beasiswa penuh itu, Kamu sih
bisanya baca novel nggak jelas saja” bentak ibu.
“Sudahlah bu,
semuanya sudah Allah atur. Ibu tidak percaya dengan takdir-Nya? Sekarang Mita
sudah kuliah, sama saja kan bu?”
“Ahh.. kamu ini
bisanya melawan orang tua. Jangan mengajari ibu. Ibu sudah cukup tahu dibanding
kamu”
Aku tidak tahan
dengan perkataan ibu yang seolah menurunkan semangatku untuk maju. Aku tak
menggubris perkataan itu lagi. Entah kalimat apa yang ibu tiriku lontarkan saat
aku berlari, yang pasti beliau masih saja dengan nada tingginya memarahiku. Aku
langsung berlari keluar dan mencari tempat yang bisa meredakan kekecewaan hati
ini. Andai saja ibu masih ada, mungkin
aku tidak akan berhadapan dengan ibu tiriku ini. Ahh, aku ini bicara apa,
semuanya sudah di atur, peristiwa yang sudah terlewati tidak bisa di kembalikan
hanya untuk direnungi dan dipelajari.
Aku jadi
teringat kata-kata Dina saat di kampus lalu. Dokter bukan berarti hanya dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit
yang berpenyakitan atau menolong nyawa manusia saja Mit, menurutku kamu sudah
menjadi dokter yang sejati. Mampu mengobati hatiku yang sedang galau, mampu
memberikan obat penawar semacam bantuan-bantuan pemikiran kamu Mit. Aku yakin
seorang Miftahul Jannah bisa lebih sukses dari sekedar seorang dokter biasa. Yah,
benar kata Dina temanku itu. Aku akan menjadi dokter, walau bukan dokter medis.
Aku akan terus pada jalur menulis, menulis untuk orang lain yang membutuhkan
nutrisi rohani dari karya-karya tulisanku itu. Menulis untuk mencerahkan orang
lain, terutama mencerahkan hatiku yang sering mendapatkan tekanan dari
keluargaku. Menulis adalah obat sekaligus penawar. Mengobati berbagai penyakit,
kebodohan, kecongkakan dan penyakit lainnya. Penawar berbagai penyakit
kealpaan, keteledoran dan juga kemalasan. Aku akan tetap jadi dokter lewat tulisanku.
0 komentar:
Posting Komentar