Jumat, 12 Juni 2015

Terserah Kalian deh Mau Kasih Judul Apa

Bismillah...

Sahabat Elsya, beberapa hari yang lalu saat langit Bogor sedang tidak bersahabat, matahari enggan menyapa terlalu pagi. Padahal Alif biasa berjemur selalu antara jam delapan atau sembilan. Alif sedikit pilek, ada ledir dihidungnya. Tujuannya sih biar badannya hangat hingga berkeringat, lendir di hidungnya bisa keluar. Kasian Alif, nafasnya sedikit terganggu.

“Bi, mataharinya belum ada. Padahal udah jam sembilan. Abang nggak berjemur deh,” (Abang; panggilan tambahan untuk Alif)

“Mataharinya malu kali mi, soalnya ummi lebih bercahaya darinya.”


Jiaaahhh... klepek-klepek deh. Suamiku selalu saja membuat aku meleleh. Padahal saat itu aku sedang sedikit  jengkel, Cuma sedikit lho yaaa... (hehehe, sssttt jangan bilang-bilang ya. Tapi kalau sudah digombalin kayak gitu langsung  ambles deh)

Sahabat Elsya, itu sedikit intermezo pagi ini. Hanya ingin menggugurkan kewajibanku saja. Menulis setiap hari dan langsung mempostingnya. Tapi sebenarnya pagi ini aku akan bercerita tentang salah satu manfaat menulis.

Menulis adalah jembatan jengkel!

(Ih istilahnya nggak keren banget sih)

Biarin. Suka suka yang nulis :-P

Jembatan jengkel? Iya betul, terkadang kita lebih nyaman menulis dibandingkan bicara langsung saat jengkel datang. Saat rasa sedih melanda. Menulis akan menjadi jembatan yang paling ampuh untuk melewatinya. Contohnya saja saat aku sedang malas bicara, karena bad mood melanda sebagai emak-emak pemula. Aku manfaatkan media whatsApp untuk membicarakan semuanya. Aku lebih nyaman menulis uneg-uneg kepada seseorang dengan menulis. Entah mengapa, itu lebih efektif bisa mengantarkanku keluar dari rasa jengkel atau sedih yang ada. Wajarlah ya, namanya juga manusia, pasti ada gesekan-gesekan kecil yang sempat mengganjal hati. Tapi bagaimana mengaturnya saja agar gesekan itu tak menjadi api. Maka dengan menulis akan menjadi solusi.

Ini berlaku bagi orang yang malas bicara saat bad moodnya datang. Karena banyak sebagian orang yang sebaliknya. Ingin mengungkapkan perasaannya secara langsung. Sekali bicara, beres. Dibandingkan dengan menulis, butuh waktu untuk melakukannya. Tapi menulis akan lebih teratur. Menulis bisa dibaca ulang dan diedit jika ada yang tidak sesuai. Beda dengan bicara langsung, sebuah kata yang sudah keluar dari lisan tidak bisa diedit lagi. Harus hati-hati menjaga lisan. Apa kata pepatah? Lidah lebih tajam dari pada pedang!

Kembali lagi kepada pribadi masing-masing sih, sukanya dengan cara yang mana. 
Silakan saja.

Banyak kujumpai, orang akan lebih nyaman menulis. Entah itu menulis status di facebook, ngetwit, ngeblog atau mendadak melankolis menulis puisi. Tapi dengan cara ini sangat efektif untuk menjadi jembatan. Membuang rasa yang tidak menyenangkan. (Kalau aku lebih suka nulis status di BBM, hihiy)

Sahabat Elsya, yang wajib diingat adalah harus difilter. Kita harus tahu, mana yang layak untuk konsumsi publik mana yang hanya untuk sendiri (Udah tahu kali mbaaak...) Jika ada hal yang (malah) menjadi pancingan pertengkaran, lebih baik menulis diary saja. (kan sama-sama menulis).

Selamat menulis!






0 komentar:

Posting Komentar