Bismillah...
Sahabat Elsya, beberapa hari yang lalu saat langit Bogor sedang tidak
bersahabat, matahari enggan menyapa terlalu pagi. Padahal Alif biasa berjemur
selalu antara jam delapan atau sembilan. Alif sedikit pilek, ada ledir
dihidungnya. Tujuannya sih biar badannya hangat hingga berkeringat, lendir di
hidungnya bisa keluar. Kasian Alif, nafasnya sedikit terganggu.
“Bi, mataharinya belum ada. Padahal udah jam sembilan. Abang nggak berjemur
deh,” (Abang; panggilan tambahan untuk
Alif)
“Mataharinya malu kali mi, soalnya ummi lebih bercahaya darinya.”
Jiaaahhh... klepek-klepek deh. Suamiku selalu saja membuat aku meleleh.
Padahal saat itu aku sedang sedikit jengkel,
Cuma sedikit lho yaaa... (hehehe, sssttt
jangan bilang-bilang ya. Tapi kalau sudah digombalin kayak gitu langsung ambles deh)
Sahabat Elsya, itu sedikit intermezo pagi ini. Hanya ingin menggugurkan kewajibanku saja. Menulis setiap hari dan langsung mempostingnya. Tapi sebenarnya pagi ini aku akan bercerita tentang salah satu manfaat menulis.
Menulis adalah jembatan jengkel!
(Ih istilahnya nggak keren
banget sih)
Biarin. Suka suka yang nulis :-P
Jembatan jengkel? Iya betul, terkadang kita lebih nyaman menulis
dibandingkan bicara langsung saat jengkel datang. Saat rasa sedih melanda. Menulis
akan menjadi jembatan yang paling ampuh untuk melewatinya. Contohnya saja saat
aku sedang malas bicara, karena bad mood
melanda sebagai emak-emak pemula. Aku manfaatkan media whatsApp untuk membicarakan semuanya. Aku lebih nyaman menulis uneg-uneg kepada seseorang dengan menulis.
Entah mengapa, itu lebih efektif bisa mengantarkanku keluar dari rasa jengkel
atau sedih yang ada. Wajarlah ya, namanya juga manusia, pasti ada gesekan-gesekan kecil
yang sempat mengganjal hati. Tapi bagaimana mengaturnya saja agar gesekan itu
tak menjadi api. Maka dengan menulis akan menjadi solusi.
Ini berlaku bagi orang yang malas bicara saat bad moodnya datang. Karena banyak sebagian orang yang sebaliknya.
Ingin mengungkapkan perasaannya secara langsung. Sekali bicara, beres.
Dibandingkan dengan menulis, butuh waktu untuk melakukannya. Tapi menulis akan
lebih teratur. Menulis bisa dibaca ulang dan diedit jika ada yang tidak sesuai.
Beda dengan bicara langsung, sebuah kata yang sudah keluar dari lisan tidak
bisa diedit lagi. Harus hati-hati menjaga lisan. Apa kata pepatah? Lidah lebih
tajam dari pada pedang!
Kembali lagi kepada pribadi masing-masing sih, sukanya dengan cara yang
mana.
Silakan saja.
Banyak kujumpai, orang akan lebih nyaman menulis. Entah itu menulis status
di facebook, ngetwit, ngeblog atau
mendadak melankolis menulis puisi. Tapi dengan cara ini sangat efektif untuk
menjadi jembatan. Membuang rasa yang tidak menyenangkan. (Kalau aku lebih suka nulis status di BBM, hihiy)
Sahabat Elsya, yang wajib diingat adalah harus difilter. Kita harus tahu,
mana yang layak untuk konsumsi publik mana yang hanya untuk sendiri (Udah tahu kali mbaaak...) Jika ada hal
yang (malah) menjadi pancingan pertengkaran, lebih baik menulis diary saja. (kan sama-sama menulis).
Selamat menulis!
0 komentar:
Posting Komentar