Di halte yang
tidak jauh dari kampus. Yang biasa disebut halte Trans Pakuan. Sudah hampir dua
puluh menit, aku melirik jam tangan. Entah sudah beberapa kali wajah-wajah
penanti di halte ini berubah. Bus trans pakuan jurusan Bubulak belum juga
datang menjemput kami. Macet, itu yang dikatakan petugas. Mungkin iya, mungkin
tidak. Yang jelas sore ini aku harus segera tiba di rumah. Aku harus menyiapkan
makanan untuk suamiku.
Hari ini ia puasa sunah.
Aku mengambil
handphone dari dalam tas, membuka menu kontak. Terseret mataku kepada nomor suamiku, ya akan
aku kirim pesan singkat padanya.
Kira-kira sampe rumah jam berapa, mas? Klik. Send.
Tidak perlu
lama menunggu untuk mendapatkan jawaban darinya.
Jam limaan Insya Allah. Sayang, mas kangen!
Aku juga kangen! Klik. Send.
Jam digital
di ponselku menunjukan angka 14.45. Masih ada waktu banyak. Lega.
Beberapa
menit kemudian bus yang kutunggu datang juga. Aku dan penanti bus lainnya
segera berhambur ke dalam bus. Nyaris langsung penuh. Sekitar tujuh menit
menunggu, bus mulai memutar rodanya. Alhamdulillah
berangkat.
Tepat pukul
empat sore aku tiba di rumah. Kubuka kulkas yang berdiri tegak di dapur. Masak apa ya? Pikirku. Tidak banyak yang
ada di dalamnya. Hanya ada bebrapa ikat kangkung dan bayam, buah pepaya, telur,
tahu, serta roti. Kepalaku memutar, mencari ide menu masakan sore ini. Hingga
satu nama yang berhasil kutemukan. Gulai. Ada banyak telur, suamiku memang
penggemar berat telur ayam. Biasanya di dadar dengan dicampur sedikit sayuran.
Namun kali ini aku akan mencoba merebus telurnya dan membuat bumbu gulai.
Semoga saja ia suka.
Gulai Telur
Santan kemasan praktis
sudah kubuka
Bumbu lengkap namun tanpa kapulaga
Harum hingga menguasai dapur dan seisinya
Telur bulat kugenangi dengannya
Bumbu lengkap namun tanpa kapulaga
Harum hingga menguasai dapur dan seisinya
Telur bulat kugenangi dengannya
Panas, kubiarkan lebih hangat
Tuk basahi bibir sedikit melekat
Cap cap cap lebih pekat
Ah, rasanya sudah pas
merekat
Kebul, asapnya menari di udara
Semerbaknya makin kuat saja
Kebul, asapnya menari di udara
Semerbaknya makin kuat saja
Warnanya sungguh
menambah selera
Yes, waktunya untuk
matikan kompornya!
Aku berjalan menuju ruang
tengah, tempat kami saling bercengkrama melepas lelah bertukar cerita. Tempat kami
membelah tawa, saat menyaksikan tayangan komedi setiap jam delapan malam di
salah satu stasiun TV swasta. Aku membawa secangkir teh di tangan kanan. Asap
mengepul ke udara, tanda airnya benar-benar mendidih.
“Sudah mandi mas?” Tanyaku pura-pura.
Tentu aku sudah paham
bahwa lelaki berjanggut seksi ini belum mandi, buktinya masih menempel sisa-sia
keringat di dahinya.
“Belumlah, baru aja datang,” Jawabnya santai.
Kubiarkan ia
membersihkan tubuhnya. Semoga kelelahan luruh bersama air yang akan
membersihkannya. Lumayan, masih ada
beberapa menit lagi untuk menunggu berbuka puasa. Sambil menunggu suamiku
mandi, aku beranjak kembali. Menyiapkan bukaan
untuknya. Makanan yang sudah aku persiapkan satu jam yang lalu. Ya, gulai
telur. Namun biasanya ia tidak langsung makan, hanya teh hangat yang wajib masuk
ke dalam perutnya yang kosong seharian.
“Waah, sayang masak
apa?”
“Nih,” aku
menyodorkan sepiring gulai telur padanya.
“Apa ini?” Tanyanya.
“Gulai, tapi sedikit
aneh” Jawabku.
Jedug...
Aku saja masih belum
paham wujud gulai yang sebenarnya. Yang jelas bumbu kuning disantan dengan
sedikit rempah-rempah itulah gulai. Namun tetap saja, suamiku selalu memberi
nilai A plus pada semua masakanku.
0 komentar:
Posting Komentar