Sumber: google image |
Oktober
2013
“Sibuk. Sibuk.
Sibuk terus! Nanti disibukin sama Allah.”
Kalimat itu selalu terngiang di telingaku. Enggan
aku mengingatnya, namun setiap berjumpa dengan kata SIBUK aku tertumpu pada
kalimat ajaib itu. Mengapa kukatakan ajaib?
Karena kini aku merasakan ajaibnya. Ya, saat ini aku sedang berbaring
lemah tak berdaya. Karena aktivitasku yang padat, kadang-kadang aku lupa dengan
detak jam dinding di rumahku.
Beruntungnya ia tidak mendendam, buktinya detak itu
kini menjadi teman setiaku. Ia menemani kesendirianku. Ia memahami nyeri di
perutku. Sudah empat hari aku tidak melakukan apa-apa. Sebuah penyakit yang mengaku
bernama Maag mampir dalam tubuhku.
Ulu hatiku sakit karenanya. Pedih. Nyeri. Dan setiap kali kupaksakan untuk
mengisi perutku, semuanya tertolak. Keluar lagi.
“Anak saya pola makannya buruk, Dok,” kata ibuku
pada seorang dokter di depannya. Dokter Solihin, begitu ia dipanggil.
Aku menaksir usia dokter Solihin sekitar empat puluhan
awal. Wajahnya tirus, agak sedikit gelap namun bersih, berhidung mancung dan
beralis tebal. Sore itu ia mengenakan pakaian kebesaran seorang dokter,
berwarna putih-putih, lengkap dengan sebuah steteskop melingkar indah di
lehernya. Melihat penampilannya yang elegan, aku bisa memastikan bahwa ia
adalah orang yang begitu memperhatikan penampilan. Wajar, ia dokter! Tidak
sampai disitu, ia juga pasti begitu menjaga makanannya, buktinya, tubuhnya
proporsional. Tidak seperti kebanyakan bapak-bapak yang berperut buncit tak
karuan.
Sambil menuliskan resep di secarik kertas kecil, ia
berujar “Anak sekarang emang gitu bu. Belagu, merasa dirinya hebat. Jadi
makannya asal ketemu di jalan aja,” dokter Solihin memang blak-blakan. Dokter yang buka praktek tidak jauh dari rumahku itu
sudah akrab dengan keluargaku. Maka tak heran jika cacian hangat itu meluncur
dari bibirnya yang tebal. Di matanya, aku selalu anak nakal. Huh!
Penyesalan selalu datang terlambat! Ya iyalah, kalau
datang di awal namanya pendaftaran! Jika sudah begini, ingin rasanya kembali ke
masa lalu. Memperbaiki semua kesalahan yang sudah kubuat. Sayangnya, tentu saja
itu mustahil.
Kini, aku hanya bisa memanen buah kecerobohanku.
Terbaring lemah berhari-hari, ibadah harian berantakan, pekerjaan terbengkalai,
tugas-tugas kuliah menanti di eksekusi, dan waktu minggat begitu saja.
Ya Rabb,
sembuhkanlah sakitku.
Ponselku berbunyi, ponsel merk cina itu sudah
beberapa puluh jam tidak aku sapa, teronggok merana di sana, di meja kamar. Ahh, kasihan sekali ia. Aku mengambil
ponselku, membuka kuncinya, dan membaca beberapa pesan singkat yang masuk.
Hah, ada pesan
dari Nur! Teman dunia mayaku yang sudah belasan hari ini
tidak menyapa di chat facebook.
Assalamualaikum
warahmatullah wabarakatuh kakak Ell.. Dirimu sehatkah? Eh iya, punten mau tanya
kakak Ell sudah gabung di ODOJ belum ya? Afwan sebelumnya. Kangen ingin bertemu
kakak Ell.
+6285920xxxxxx
Nur
Aku mengerutkan kening, berpikir keras. “Gabung di ODOJ? Apaan tuh ODOJ? Sepertinya kata
ini adalah nama sebuah komunitas. Tapi aku belum pernah mendengar sebelumnya.
Hmmm, mau nanya tapi gengsi. Ketinggalan jaman
banget,” pikirku.
Pesan singkatnya tidak langsung kubalas. Alasannya,
aku masih bingung dengan kata ODOJ. Aku harus mencari tahu sendiri. Browsing. Ya, hanya dengan browsing
semoga saja aku bisa menemukan jawabannya pada mbah yang katanya sakti itu,
mbah gugel.
Ponselku langsung berselancar pada sebuah alamat web
yang aku ketikan. Namun naas, ponsel ini membuat darahku mendidih. Menyebalkan!
Koneksinya lelet. Membuat kepalaku
pusing, dan perutku mual. Ahh baru ingat, aku belum minum obat. Pantas saja. Sementara,
aku biarkan kata itu, ODOJ, terbenam dalam ingatanku.
###
“Coba kalau kemarin aku nggak sakit, aku pasti bisa
ikut pelatihan di Bandung itu,” ujarku
sebal sambil bersungut-sungut pada Tina. Ia adalah sahabatku, teman sekantor
yang menyenangkan.
“Nggak apa-apa, semuanya sudah Allah atur. Semoga
dengan sakitnya kamu bisa menghapus dosamu,” Tina mengingatkan sambil menepuk
pundakku hangat.
Kami lalu diam beberapa menit. Tenggelam pada
pekerjaan masing-masing yang sudah menunggu untuk diselesaikan.
Tiba-tiba, setelah ingat akan sesuatu, Tina berujar “Eh
iya La, kalau di pengajianmu ada target tiawahnya nggak?”
“Ada” kataku, “Tapi ya gitu, aku belum bisa
konsisten..” lanjutku nyengir.
“Berapa halaman emang?”
“Empat halaman doang sih.” Jawabku singkat.
“Oh, cuma empat halaman” bibir Tina membulat,
“Berarti kamu belum ikut ODOJ dong?”
Ah,
kata itu lagi. Sepertinya komunitas ini berhubungan dengan tilawah. Buktinya barusan
Tina bertanya soal tilawah dan nyambungnya ke ODOJ.
Aha!
Baru ingat, bulan April lalu aku pernah melihat poster yang dipasang di depan
jalan utama komplek dekat kantorku ini. One
Day One Ayat. Ya, sepertinya itu. Eh tapi sebentar, itu bukan ODOJ dong,
itu ODOA. Lama aku tertegun, belum
menemui juga sang jawaban itu. Nyerah
sajalah.
Sambil membenarkan kaca mata minusku, aku menyahut asal, “Iya belum gabung, oh yang kemarin launching
di Glora Bung Karno itu ya?”
“Launching? Hmm kurang tahu juga, sih, Say.. Yang
pasti ODOJ itu tilawahnya sehari satu juz.”
“Hah sehari satu Juz?”
“Iya.”
Empat halaman saja aku masih jarang, apalagi untuk
satu hari satu Juz. Sepertinya itu hal yang mustahil. Aku baru sadar, ODOJ; J
nya itu adalah Juz. Berarti One Day One Juz. Aku menganggukan kepalaku.
“Iya, deh. Ntar-ntar aja aku gabung.”
Lama aku melupakan lagi komunitas tilawah itu.
Pekerjaanku sebagai admin marketing di kantor lembaga sosial ini memang cukup
padat. Pergi pagi pulang malam. Belum lagi jika ada liputan ke luar kota, cukup
menyita waktu dan tenaga. Jika aku gabung di komunitas tilawah itu belum tentu
aku bisa menyelesaikan misinya. Ahh nanti
saja, jika sudah cukup waktunya.
Lagi-lagi penyakit yang pernah singgah muncul
kembali, Maag. Penyakit itu sepertinya tidak mau berpisah denganku. Padahal
kehadirannya tidak pernah aku harapkan.
“Tingkatkan lagi ibadahnya, jangan dunia saja yang
dicari,” ibuku melayangkan kalimat ajaibnya.
“Tilawahnya bagaimana La?” Sebuah pertanyaan
melayang dari guru ngajiku.
“Pekan ini empat halaman seharinya belum tercapai
bu. Padat banget kerjaan di kantor” jawabku ringan, tanpa merasa bersalah.
“Allah tidak suka diduakan, ngakunya cinta sama
Allah tapi nggak tilawah. Tilawah itu cara kita membaca mesra surat cinta-Nya.
Dunia ini milikNya, mau seterusnya sibuk dengan dunia?”
Jleb! Dalem
banget!
Baca kelanjutannya: Pahlawan itu bernama ODOJ (Part 2)
Tulisan lamanya keren juga.. hehe
BalasHapussiapa dulu gurunyaaaa...
HapusCuit.. cuit.. ehem... berasa jd obat nyamuk nih saya :))
Hapuskeren mbak ella
BalasHapus