Aku menikmati setiap detiknya menjadi seorang ibu. Membersamai Alif setiap waktu. Sungguh semuanya adalah anugerah terindah dalam hidupku. Kebahagian buatku. Saking bahagianya, aku pun kemudian lupa, bahwa dua tahun yang lalu dadaku pernah bergemuruh. Jantungku berdegup kencang, dan suasana mendadak menegangkan. Aku memasuki ruang operasi sendirian. Horor banget. Aku harus melakukan operasi Sectio Caesaria atau sering disebut sesar, agar bayi yang kukandung segera terselamatkan.
Saat mengandung Alif aku mengalami kehamilan postern -kehamilan yang lewat dari waktu perkiraan dokter-. Sudah masuk empat puluh minggu aku dan suamiku mulai ketar-ketir, karena belum ada tanda-tanda cinta dari janin dalam rahimku. Mungkin ia masih dalam proses persiapan bertemu dengan Ummi dan Abinya. Entahlah.
Aku menjadi lebih sering berburu informasi penting tentang kehamilan lewat bulan. Sampai-sampai aku mendadak cerewet tanya ini itu ke salah satu grup keren di aplikasi WhatsApp. Grup ini sangat membantu sekali. Sehingga aku selalu mendapatkan energi positif dari member-membernya yang ikut berbagi. Tapi tak jarang juga aku was-was ketika ada beberapa teman yang usia kehamilannya sama bahkan lebih muda, tapi sudah melahirkan duluan. Kok aku belum lahiran juga?
Pada minggu-minggu ini aku sering ke dokter, melakukan cek USG dan CTG – Cardiotocography; Pemeriksaan detak jantung janin pada saat kontaksi dan tidak. Hasilnya masih baik-baik saja. Orangtua pun, akhirnya menyarankan agar kami tetap menunggu hingga ia memberikan dorongan alami untuk menemukan jalan keluarnya. Ya, jalan lahirnya. Tapi sudah lewat hampir tiga minggu belum juga ada tanda-tanda. Aku belum pernah merasakan apa-apa, seperti kebanyakan ibu hamil lainnya. Seperti sakit pinggang, kontraksi dan mulas teratur atau keluar flek. Tidak sama sekali. Bahkan segala usaha agar merangsang proses pembukaan sudah aku lakukan. Dari mulai olahraga sampai makan buah nanas dan durian yang konon bisa memacu kontraksi. Tapi hasilnya? Nihil!
“Anak sholehnya Ummi, yuk cari jalan keluarnya. Nanti Ummi bantuin. Ummi sama Abi udah kangen sama anak sholeh. Pengen cepet-cepet ketemu.”
Kubisikkan sebuah harapan setiap saat sambil mengelus perut buncitku. Mengajak kerjasama kepada janinku agar segera mendorong jalan keluarnya. Setiap sujud selalu kupanjatkan segala doa dan pinta untuk keselamatan calon buah hatiku.
Ketika memasuki minggu ke empat puluh tiga, aku melakukan pemeriksaan. Tepat hari Kamis tanggal 12 Maret 2015. Apapun hasilnya akan segera kuputuskan. Biasanya setiap periksa kehamilan, aku hanya berdua dengan suamiku saja. Namun kali ini kami mengajak Ibuku ke rumah sakit di bilangan Kota Bogor. Tujuannya agar sama-sama tahu kondisi kandunganku saat itu. Karena beliau yang selama ini meminta agar aku menunggu sampai ada tanda-tanda melahirkan.
Rumah sakit ini bukan tempatku biasa periksa kehamilan, namun dokter obsgynku kebetulan sedang praktek di sana. Ya, RS Bunda Suryatni namanya.
“Plasentanya sudah mengalami pengapuran grade tiga, Bu. Sehingga sudah sulit menyuplai nutrisi makanan untuk janin. Bayi harus segera dilahirkan,” kata dokter cantik yang sedang memeriksaku sore itu. Dia adalah dokter obsgynku, dokter Farahdina.
“Jika ibu mau, kita bisa melakukan induksi terlebih dahulu. Namun persentase keberhasilannya fifty-fifty,” ia melanjutkan.
“Lakukan yang terbaik, Dok. Kita usahakan normal dulu saja.” Kata suamiku yang sejak tadi ikut memandang layar USG. Ibuku hanya menggangguk pelan. Aku, tentu saja manut.
Lingkar kepala besar. Perkiraan berat badan janin 3,6 kg. Untuk ukuran anak pertama memang besar. Dokter menyimpulkan karena itulah menjadi penghambat mengapa aku tidak bisa merespon hormon oksitosin dalam tubuhku. Hormon ini sangat penting untuk bukaan jalan lahir bayi. Namun ini hanya perkiraan saja, karena penyebab kehamilan postern belum diketahui pasti. Entah itu karena genetik atau karena memang kondisi tubuhku yang tidak bisa respon dengan hormon yang paling berpengaruh ini. Dokter akan melakukan induksi guna memberikan hormon oksitosin. Berharap ada bukaan secara alami sehingga aku bisa menjalani proses melahirkan dengan normal.
***
Pukul 23.12 WIB aku sudah berbaring di ruang tindakan. Ada dua selang yang menjuntai dipasangkan ke tubuhku. Asupan oksigen dan sebuah infusan hormon oksitosin. Di sana aku menangkap wajah-wajah yang menegangkan dengan senyum yang dipaksakan. Ya, ada suami dan ibuku yang selalu menguatkan.
“Ummi tenang saja, kita lakukan usaha maksimal buat kelahiran normal anak kita,” kata seseorang yang kini kupanggil Abi, dia lelaki hebat yang pernah kutemui.
Tidak pernah menyesal menjadi pendamping hidupnya. Bahkan masih terukir jelas saat ia ucap janji suci di depan orangtua, penghulu dan para saksi. Kamis, 3 April 2014 adalah hari bahagia kami. Semoga terjalin hingga akhirat nanti.
“Iya, Bi. Aku nggak mau operasi.” Kataku lirih. Pipiku basah, ada aliran hangat dari mataku.
Aku benar-benar khawatir saat itu. Aku sangat takut dengan operasi. Seumur hidupku baru kali ini berbaring di ruang tindakan. Bahkan, berada di ruangan operasi pun belum pernah terbayangkan. Doa terbaik tak henti-hentinya kupanjatkan. Semoga Allah mengabulkan, tidak dengan operasi sesar melainkan melahirkan dengan normal.
****
Jumat, 13 Maret 2015
Sekitar pukul 05.30 WIB seorang perawat sibuk melihat alat CTG yang sudah semalaman terpasang. Mereka selalu melakukan cek pada janinku setiap sembilan puluh menit sekali. Sudah sekitar enam jam hormon yang diberikan kepadaku tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan semalaman itu aku bisa tidur nyenyak karena kontraksi tidak terjadi sedikit pun.
“Ini nggak baik,” katanya membuyarkan lamunanku.
“Kenapa, Sus?” tanya suamiku langsung menyambar.
“Detak jantung anak Bapak melemah.”
Ya Rabbi. Kenapa dengan anak kami? Aku terdiam. Perawat dan suamiku sedang melakukan diskusi dengan hasil akhir CTG itu. Aku enggan mendengarnya. Aku hanya ingin anak yang kukandung bisa selamat. Apapun caranya aku ikhlas. Tidak lagi memikirkan takutnya tindakan operasi. Bahkan jika harus kutukar dengan nyawaku, aku siap. Yang terpenting keselamatan buah hatiku. Namun tetap saja, otakku langsung berputar. Membayangkan proses menyeramkan itu.
“Bi, aku nggak mau operasi,” kataku lirih.
“Ummi harus kuat. Demi anak kita,” kata suamiku sambil menghapus bulir hangat yang mengalir di pipiku.
“Doain aku dan anak kita ya, Bi. Maafin Ummi jika ada salah”
“Doain ya, Mi. Maafin Ella jika banyak salah sama Ummi,” aku meminta doa juga kepada ibuku yang masih menemani.
“Jangan mikir macam-macam ya. Pokoknya banyak Istighfar saja. Ada Allah, nak!”
Dengan berpasrah diri aku memasuki ruang operasi. Tentu sudah lengkap dengan pakaian hijau yang menambah horor saja. Benar, aku langsung lemas bukan main. Tensi darah langsung turun. Dokter membisikkan agar aku tetap tenang dan banyak berdoa. Bagaimana tidak, ruangan itu sungguh menyeramkan. Hanya dua warna yang tampak kontras dipandang. Ruangan serba putih dan seragam hijau tim dokter yang khas. Aku tidak tahu pasti jumlah dokter di ruangan itu. Mungkin jika kukira-kira ada sekitar tujuh dokter dengan tugasnya masing-masing. Aku dibius setengah saja, sehingga masih terdengar jelas suara yang khas. Seperti gunting yang beradu sampai benturan baskon stenless yang kutaksir adalah tempat alat-alat medisnya. Jiwaku bergejolak tak karuan. Aku mual hebat. Mau bicara pun rasanya tidak bisa.
Hoek! Sepertinya ini efek dari biusan yang disuntikkan ke punggungku tadi. Sehingga ia tidak bersahabat dengan perutku.
“Alhamdulillah, laki-laki Bu anaknya. Nangisnya kenceng banget, ya,” suara samar-samar seorang dokter.
“Beratnya 3,8 Kg, panjangnya 51 cm. Semuanya lengkap, sehat dan selamat.” Katanya lagi melanjutkan.
Benar saja. Pagi ini sekitar pukul tujuh kurang empat menit anakku sudah lahir. Tanggal 13 Maret 2015 di hari yang barokah, Jumat Mubarak. Hari yang sangat kusukai. Dokter langsung melekatkan bayi mungil itu ke atas dadaku untuk melakukan IMD – Inisiasi Menyusui Dini. Namun hanya sebentar saja. Karena proses penjahitan harus segera diselesaikan.
Ternyata operasi tidak seperti yang kubayangkan. Tidak seperti film horor yang pernah kutonton. Prosesnya hanya sebentar. Jika sakit setelahnya jelas wajar. Inilah perjuangan.
Saat itu perasaanku campur aduk. Kepalaku seperti mau pecah saja. Perutku mual sampai tak sadarkan diri. Beberapa jam kemudian seluruh tubuhku terasa sakit. Biusnya sudah habis. Ahh, luar biasa perjuangan ini. Untuk bergerak pun sulit sekali. Itu sebabnya hari pertama aku dirawat, dokter sudah memasangkan selang kateter - selang yg digunakan untuk membantu mengeluarkan urine secara otomatis dari kantung kemih. Yang jelas aku bahagia. Anakku sehat dan selamat. Rasa sakit itu sudah terbayar lunas dengan kebahagiaanku. Jagoan kecilku sudah menjadi pelengkap hidup. Alif Fathul Hadi. Nama yang kami berikan padanya. Semoga menjadi anak yang membanggakan. Pembuka segala kebaikan.
Kusematkan panggilan “Abang” untuknya agar ia menjadi jiwa yang kuat. Menjadi panutan untuk adik-adiknya kelak. Tertanam sikap leader yang bertanggung jawab.
------------------
------------------
Note: Ini tulisan lama, ada dalam buku antologi Love story of Birthing.
0 komentar:
Posting Komentar